Momen Pilkada DKI Jakarta 2017 menyisakan banyak pertanyaan untuk para peneliti khususnya peneliti yang mempunyai fokus melakukan penilaian terhadap tingkat kepuasan masyarakat terhadap program-program pemerintah, popularitas, dan juga elektabilitas incumbent maupun calon-calon baru yang berlaga di ajang pemilu maupun pemilukada.
Salah satu hasil yang cukup “aneh” adalah hasil riset yang menyatakan bahwa tingkat kepuasan masyarakat DKI terhadap program incumbent (Basuki – Djarot) yang mencapai lebih dari 70% tetapi hasil akhir pemilukada menyatakan bahwa incumbent kalah dengan raihan suara hanya dibawah 44%. Terhadap hasil yang cukup aneh ini, beberapa pengamat menyatakan bahwa masyarakat DKI bukanlah pemilih rasional. Karena kalau rasional, setidaknya incumbent akan meraih suara sekitar 70% tersebut. Sama dengan tingkat kepuasan masyarakat.
Benarkah pernyataan tersebut?
Untuk menjawab pertanyaan ini, saya akan sharing pengalaman melakukan survey kepuasan masyarakat yang pernah saya lakukan baik di DKI Jakarta maupun di tempat lain.
Pada tahun 2008/2009, kami melakukan riset untuk menilai tingkat kepuasan masyarakat miskin di Jakarta terhadap program pemprov waktu itu dibawah kepemimpinan Foke. Riset kami menggunakan random sampling dengan jumlah responden 400 orang. Jumlah responden ini adalah standar jumlah responden yang juga dipakai oleh mayoritas lembaga survey dalam ajang pilkada di Indonesia.
Hasilnya, 90.25 % responden mengaku puas dengan kinerja pemprov. Namun seperti kita ketahui, pada tahun 2012, Foke kalah dibanting Jokowi dengan perolehan hanya 46% saja. Waktu itu, beberapa riset mengkonfirmasi bahwa Jokowi justru banyak didukung oleh kelompok masyarakat menengah kebawah di Jakarta.
Tahun 2011/2012, untuk thesis S2 saya, saya kembali melakukan riset serupa di Karangasem Bali dengan fokus evaluasi Program Raskin. Hasilnya, 57% masyarakat menyatakan tidak puas dengan kualitas Raskin karena beras yang mereka terima warnanya kekuning-kuningan dan agak bau. Meski demikian, 83% responden mengaku puas dengan program raskin tersebut.
Paradok Kepuasan
Oleh pembimbing thesis saya, saya diminta menjelaskan fenomena aneh tersebut. Akhirnya saya memakai beberapa teori “paradok kepuasan” yang lepas sama sekali dengan riset kuantitatif yang saya lakukan. Ternyata kepuasan atas program tidak semata karena kualitas program itu sendiri.
Terjadinya ketidaksesuaian antara kondisi sesungguhnya dengan penilaian masyarakat atau individu secara subjektif salah satunya disebabkan karena masyarakat sudah mampu menyesuaikan standar hidup mereka dengan kondisi yang ada.
Riset saya juga menggarisbawahi bahwa kepuasan individu dan masyarakat sangat dipengaruhi oleh faktor budaya dan perasaan individu maupun masyarakat. Kepuasan tidak selalu rasional. Kualitas kinerja atau program tidak menjadi faktor tunggal atas kepuasan masyarakat. Justru faktor dalam individu dan budaya yang sangat mempengaruhi definisi “puas” bagi setiap individu.
*Ditulis oleh: Agung Wasono (Peneliti Senior LANSKAP Indonesia, April 2017)