Setelah menyelesaikan serangkaian kegiatan needs assessment, pada hari Kamis, 28 Februari 2019, LANSKAP Indonesia dan William and Lily Foundation (WLF) menyelenggarakan forum untuk melakukan diseminasi dan FGD bertempat di Hotel Grand Cemara di Jakarta Pusat. Forum ini dimaksudkan untuk menyampaikan hasil needs assessment kepada stakeholders yang berkepentingan baik ditingkat pusat maupun daerah.
Stakeholders yang hadir dalam forum ini berasal dari pemerintah pusat, daerah, kalangan bisnis, dan juga lembaga-lembaga independen seperti Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), Subdit Sarana dan Prasarana Pelatihan Kementerian Ketenagakerjaan, Subdit Instruktur Lembaga Pelatihan Swasta Kementerian Ketenagakerjaan, APINDO, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sumba Barat Daya, PT. Mitra Pinasthika Mulia (MPM) selaku Distributor Honda wilayah Jawa Timur dan NTT, PT. Yamaha Indonesia Motor Manufacturing (YIMM), JAPFA Foundation, dan Institute for Research and Empowerment (IRE).
Acara dibuka oleh Agung Wasono selaku Direktur Eksekutif LANSKAP Indonesia dan kemudian dilanjutkan dengan sambutan dari Ketua Yayasan WLF Ibu Michele Soeryadjaya. Ibu Michele menjelaskan bahwa WLF adalah lembaga filantropi yang aktif bekerja di 3 bidang area yakni pendidikan, pelayanan kesehatan, dan peningkatan ekonomi warga. WLF mempunyai fokus area di wilayah Indonesia timur dan saat ini sedang fokus di Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur.
Temuan Needs Assessment
Dalam paparanya tentang temuan needs assessment, Agung menjelaskan bahwa LANSKAP Indonesia telah melakukan serangkaian kegiatan needs assessment diantaranya yakni In-depth interview narasumber di tingkat pusat, propinsi dan kabupaten, focus group discussion dengan stakeholders di Sumba Barat Data, dan juga observasi langsung di 12 SMK, 1 BLK, dan beberapa LPK.
Temuan LANSKAP Indonesia meliputi kerangka regulasi, peran pemerintah di semua tingkatan, kondisi SMK/BLK/LPK, manajemen SMK/BLK/LPK, kapasitas guru dan instruktur, metode pengajaran, pemenuhan tenaga kerja, dan terakhir adalah isu kemitraan strategis SMK/BLK/LPK dengan dunia udaha dan dunia industri.
Dalam kerangka kebijakan misalnya, LANSKAP Indonesia menjelaskan bahwa Standar Nasional Pendidikan (SNP) SMK sudah disahkan melalui Permendikbud 34/2018 Pada 14 Desember 2018 yang meliputi 8 standard. Sosialisasi dan pelaksanaannya akan dimulai pada 2019. Kemudian, sesuai amanat UU 23/2014 tentang Pemerintah Daerah, mulai tahun 2016, kewenangan SMK dialihkan ke Propinsi. Kebijakan ini pernah digugat di Mahkamah Konstitusi pada Juli 2017, namun MK menguatkan keputusan pemerintah untuk menggeser kewenangan SMK dari kabupaten/kota ke propinsi.
Kebijakan lainnya yakni Inpres No. 9/2016 tentang Revitalisasi Pendidikan Menengah Kejuruan yang menjadi kebijakan penting untuk pengembangan SMK, BLK, dan meningkatkan kompetensi lulusan. Kemudian, salah satu fokus pemerintah di 2019 adalah pendidikan vokasi dan SDM. Hal ini juga terdapat dalam RPJMN 2020 – 2024.
Dalam kaitannya dengan pelimpahan tanggungjawab pengelolaan SMK ke propinsi yang sudah berjalan efektif 2 tahun, ternyata menyebabkan beberapa konsekuensi diantaranya yakni: pemerintah kabupaten tidak lagi mempunyai kewenangan supervisi dan penganggaran, pemerintah propinsi tidak memiliki anggaran yang cukup untuk melakukan supervisi ke semua SMK, SMK berada jauh dari jangkauan pemerintah propinsi sehingga monitoring dan supervisi menjadi jarang dilakukan, dan guru tidak lagi mempunyai kesempatan training di kabupaten. Training biasa diselenggarakan di propinsi dan hanya perwakilan guru yang diundang.
Kondisi SMK di Sumba Barat Daya
Secara umum, SMK di Sumba Barat Daya belum dikelola secara profesional terutama untuk SMK Swasta. Hal ini disebabkan karena kurangnya perhatian Yayasan tempat SMK swasta ini bernaung. Hal lain yang cukup mengagetkan yakni mayoritas SMK bahkan tidak memiliki sarana dan prasarana yang memadai. Ketiadaan ruang praktek dan sarana praktek menyebabkan pembelajaran dilakukan dengan 100% teori.
Fakta lain yang terungkap dalam FGD di Sumba Barat Daya yakni bahwa SMK-SMK di Sumba Barat Daya membuka jurusan tanpa studi kelayakan dan tanpa mempertimbangkan ketersediaan sarana prasarana dan tenaga pengajar. Sementara itu, dari segi akreditasi, belum ada program keahlian SMK yang memiliki akreditasi A. Sebagian besar belum memiliki akreditasi.
Temuan lain yakni terkait kapasitas guru dan tenaga pendidik. Gap kualitas tenaga pendidik antar SMK sangat tinggi. Hal yang menjadi concern utama adalah kualitas tenaga pendidik yang masih jauh dibawah standar, meski secara syarat sudah memenuhi (lulusan S1). Guru produktif sangat minim dan banyak guru berfungsi ganda (sebagai guru berbagai mata pelajaran)
Hampir semua guru yang tim temui belum pernah mendapatkan pelatihan baik dari pemerintah kabupaten (sebelum 2016) atau pemerintah propinsi (setelah 2016). Sementara itu, guru masih belum memahami kurikulum 2013 (K-13), sehingga proses belajar mengajar di kelas belum memenuhi standar baku. Mayoritas SMK juga belum memiliki instruktur sesuai kejuruan yang dibuka. Instruktur yang ada pun belum bersertifikat.
Kondisi BLK/LPK di Sumba Barat Daya
BLK milik pemerintah kabupaten sudah beroperasi sejak 2015. BLK ini memiliki 2 gedung dan memiliki 16 mesin jahit dan obras dan 16 komputer untuk kegiatan pelatihan. Sarana ini terbengkalai karena aktivitas pelatihan telah vakum selama beberapa bulan terakhir.
Temuan di BLK/LPK ternyata pengelolaan BLK di SBD sepenuhnya masih tergantung dengan dana APBD. Pada tahun 2018, tersedia anggaran 300 juta untuk melaksanakan 5 paket pelatihan (menjahit, komputer, dan tata laksana rumah tangga). BLK pemerintah juga belum memiliki struktur tersendiri (SOTK). Idealnya BLK memiliki struktur sebagai UPT (Unit Pelaksana Teknis) sebagaimana Perbup 51/2016. Belum adanya struktur menyebabkan pengelolaan BLK tidak bisa dijalankan dengan maksimal.
Selain BLK Pemerintah, terdapat LPK Don Bosco yang memiliki 3 gedung dan memiliki sarana yang cukup memadai baik untuk kelistrikan, AC, refrigerator, bengkel mobil, motor dan las. LPK Don Bosco mengalami kesulitan dalam merekrut siswa karena keterbatasan SDM dan minimnya sosialisasi. Selain itu, ada LPK Santa Maria untuk komputer dan PKP St. Maria untuk menjahit (tidak aktif) dan pembuatan roti. LPK Santa Maria memiliki 4 unit komputer dan dipakai bersamaan dengan SMK Harapan Bangsa.
Apa yang perlu dilakukan?
Memperhatikan temuan-temuan tersebut, LANSKAP Indonesia memberikan usulan beberapa list agenda yang perlu dilakukan. Diantaranya yakni:
- Perlu revitalisasi peran propinsi dalam mengelola SMK termasuk kemungkinan propinsi memiliki kantor perwakilan di Kabupaten.
- Revitalisasi peran pemerintah kabupaten sesuai dengan peraturan per-UU-an. Kabupaten bisa menyusun perbup atau perda untuk pengembangan pendidikan vokasi dan ketenagakerjaan.
- Meningkatkan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dengan meningkatkan kualitas SDM tenaga pendidik: Baik kapasitas dalam mengajar sesuai Kurikulum K-13 maupun kemampuan mengajar kompetensi keahlian.
- Membantu akses buku pelajaran untuk setiap siswa sesuai K-13: Baik dari pusat maupun propinsi. Termasuk potensi pembuatan pojok baca/perpustakaan
- Membuka potensi kerjasama antara SMK/BLK/LPK dan DUDI melalui pembentukan Forum Komunikasi Pengembangan Latihan Kerja dengan Dunia Industri.
- Menyusun peta kebutuhan industri; kesesuaian dengan jurusan SMK, dan ketersediaan tenaga kerja.
- Pemetaan dan penataan ulang SMK. Termasuk potensi untuk melakukan merger SMK dan penataan jurusan yang benar-benar dibutuhkan.
- On the job training sebagai syarat kelulusan siswa SMK dan BLK.
- Sharing tenaga pengajar (SMK, BLK, SMA, SMP) bisa dijajaki. LPK Don Bosco bisa menjadi salah satu starting point untuk hal ini.
- Menyusun program pelatihan BLK Bersama industri. Untuk SMK, membuka intervensi industri untuk masuk langsung di jurusan-jurusan SMK.
- Perlu ada SMK dan BLK yang sudah mempunyai status sebagai Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) dari BNSP. Dengan status ini, SMK/BLK bisa memberikan sertifikat kompetensi bagi siswa. Sertifikat kompetensi ini berbeda dengan ijazah dan sangat penting di dunia kerja.
- Apabila memungkinkan, siswa BLK diberikan atau dipinjami ‘alat produksi’ sehingga mampu membuka usaha sendiri. Monitoring dan pendampingan terhadap lulusan BLK juga perlu dilakukan oleh pemerintah atau pengelola BLK.
Forum diseminasi dan FGD umumnya sepakat dengan hasil temuan dan list agenda yang disusun oleh LANSKAP Indonesia. Dalam forum diskusi pendalaman, masing-masing perwakilan institusi memberikan informasi tambahan dan masukan.
Hal utama yang menjadi concern dari peserta adalah kondisi Sumba Barat Daya yang masih tertinggal sehingga belum tumbuh dunia usaha dan dunia industri. Hal ini menyebabkan lulusan SMK di Sumba Barat Daya yang mencapai 2.000an siswa per tahun tidak terserap (over supply, low quality supply, less demand). Hal ini juga tejadi secara nasional karena data BPS Januari 2019 menyebutkan bahwa lulusan SMK menyumbang angka pengangguran terbuka tertinggi dibanding lulusan SMA dan SMP. Oleh karena itu, intervensi pada sisi supply (kompetensi lulusan) juga perlu diimbangi dengan intervensi pada sisi demand (keberadaan dunia usaha dan industri). Pemerintah, lembaga non-pemerintah, dan dunia usaha perlu bersama-sama dalam mengatasi tantangan pendidikan vokasi dan juga perluasan kesempatan kerja.
***
Berikut beberapa dokumentasi FGD hari ini Kamis, 28 Februari 2019.


Bapak Miftahul Azis Wakil Ketua BNSP (ujung kiri) memberikan respon terhadap temuan needs assessment dan memberikan catatan tambahan mengenai peranan BNSP dan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) bagi pendidikan vokasi










