
Jakarta (16/03/2016). Mencermati kegaduhan yang terjadi di Jakarta terkait dengan bisnis transportasi online (ridesharing service), ada beberapa solusi yang bisa dipakai oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui peraturan gubernur, atau secara nasional bisa diimplementasikan melalui peraturan menteri.
Membiarkan bisnis transportasi online berjalan tanpa payung regulasi yang jelas tentu tidak bisa dibenarkan. Sebelumnya Pak Jonan juga mengisyaratkan bahwa bisnis transportasi online ini akan segera dilarang karena melanggar UU dan tidak mempunyai kontribusi berupa pajak kepada Negara. Sementara Presiden mengisyaratkan untuk melindungi industri-industri kreatif seperti ini. Lantas apakah sudah ada solusinya? Sayang, Presiden tidak juga memberikan solusi kebijakan untuk hal ini.
Ada contoh di Australia yang sebenarnya bisa dipertimbangkan sebagai solusi. Dua Negara bagian di Australia (Canberra dan New South Wales) akhirnya melegalkan ridesharing service (seperti UberX, taksi online) pada akhir tahun 2015 yang lalu. Pilihan kebijakan ini ditempuh setelah muncul demo cukup besar oleh para pengemudi taksi. Pemerintah Negara bagian Canberra dan NSW sadar, mereka perlu memperbarui regulasi tentang transportasi yang sudah “out-dated”.
Pilihan kebijakan yang bisa diambil adalah dengan: (1) Memberikan kompensasi kepada para pengemudi taksi dalam “industry adjustment package” yang dananya diambil dari dana pemerintah dan pajak yg dibebankan ke ridesharing services (2) Membentuk komisioner untuk membuat regulasi dan mengawasi jalannya bisnis transportasi online, dan (3) tetap memberikan akses ekslusif untuk taksi di bandara, statiun, dan tempat publik lainnya.
Hak-hak perusahaan taksi (juga bajaj, mikrolet, dll) harus tetap dilindungi karena mereka membayar pajak dan telah memenuhi syarat-syarat berdasarkan UU untuk mendapatkan plat kuning. Di sisi yang lain, pemerintah juga harus adaptif terhadap kemajuan teknologi dan globalisasi.**
LANSKAP Indonesia