adhyaksa-dault-tak-ada-lawan-berat-di-pilgub-dki-2017
Menuju Pilgub DKI 2017

Sebagaimana diketahui bahwa batas pengajuan calon perseorangan untuk Pilgub DKI sudah lewat yakni tanggal 7 Agustus 2016 yang lalu. Hal ini sekaligus menjadi penanda bahwa Pilgub DKI 2017 hanya akan diikuti calon yang diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik.

Saat ini setidaknya ada dua poros politik yang terbaca oleh publik, pertama adalah gabungan 3 partai politik pendukung calon gubernur incumbent (Ahok) yakni koalisi Partai Golkar, Partai Hanura dan Partai Nasdem dengan kekuatan 24 kursi di DPRD dan kedua adalah Koalisi Kekeluargaan yang terdiri dari 7 parpol yakni PDIP, Gerindra, PKB, PAN, PKS, Demokrat, dan PPP dan mempunyai kekuatan 82 kursi di DPRD.

Peta koalisi diatas masih sangat mungkin berubah karena ada PDIP sebagai satu-satunya parpol yang bisa mencalonkan sendiri jagonya karena mempunyai 28 kursi di DPRD, lebih 6 kursi dari syarat minimal yang ditentukan oleh UU yakni 22 Kursi. Terlebih strategi dalam pilkada seringkali mengharuskan partai koalisi memecahkan diri pada putaran pertama dan kemudian kembali bergabung pada putaran kedua.

Dilihat dari sebaran kursi di DPRD DKI (sebagai proxy dari jumlah pemilih masing-masing partai pada pemilu 2014), menurut saya, setidaknya ada 4 skenario gabungan parpol yang mungkin berpartisipasi dalam Pilgub, yakni Koalisi Golkar, Hanura dan Nasdem (24 Kursi), Koalisi Gerindra dan PKS (26 Kursi), Koalisi PPP, Demokrat, PKB (26 Kursi), dan PDIP (28 Kursi). PAN hanya akan menjadi partai pengekor karena jumlah kursi yang kurang signifikan (2 Kursi).

Dari kemungkinan koalisi diatas, hanya ada 2 partai yang akan menentukan arah bagi penantang Ahok, yakni PDIP dan Gerindra. Gerindra yang mempunyai kekuatan 15 Kursi bisa memilih untuk berkoalisi dengan salah satu partai: PKS (11 Kursi), PPP (10 Kursi), Demokrat (10 Kursi), atau  dengan 2 partai PKB dan PAN (total 8 Kursi). Skenario yang terakhir saya sebutkan ini sangat kecil kemungkinan terjadi karena secara matematis sangat riskan.

Tapi tentu saja, arah pilgub DKI tidak semata ditentukan oleh jumlah kursi di DPRD tetapi juga tingkat popularitas bakal cagub yang salah satunya bisa dilihat melalui survey-survey politik. Saat ini saya yakin partai politik utamanya PDIP dan Gerindra juga sudah dan sedang melakukan survey untuk melihat popularitas dan elektabilitas bakal calon yang akan mereka usung.

Meski Ahok dalam beberapa survey dianggap paling tinggi elektabilitasnya, tetapi sejarah pilgub DKI pernah membuktikan bahwa koalisi besar partai politik bisa menghadang kemenangan salah satu calon yang cukup populer. Pilgub DKI 2007 membuktikan bahwa popularitas Adang-Dani yang kala itu hanya didukung PKS, kalah dengan Fauzi Bowo-Prijanto yang didukung Koalisi Jakarta yang terdiri dari 20 Parpol. Jadi Ahok dengan 3 partai pendukungnya tidak boleh jumawa, harus waspada dan hati-hati membaca trik dan intrik politik dari lawannya.****

 

Agung Wasono – Direktur Eksekutif LANSKAP

www.lanskapindonesia.co

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s